JAKARTA (ANTARA) — Dosen senior dan peneliti Universitas Multimedia Nusantara, Albertus Prestianta, menilai rendahnya literasi keuangan dan literasi digital menjadi penyebab utama seseorang terjebak pada pinjaman online (pinjol) ilegal.
“Masyarakat kita banyak yang terjebak pinjol ilegal. Selain karena tekanan kebutuhan sehari-hari, hal ini juga disebabkan oleh rendahnya literasi keuangan dan literasi digital masyarakat Indonesia sehingga sering kali memenuhi syarat untuk mendapatkan pinjaman baik secara khusus maupun ilegal,” tulisnya dalam siaran pers, Minggu.
Hal itu ia sampaikan dalam workshop literasi digital bertajuk ‘Jauhkan Pinjam dan Kuasai Literasi Keuangan di Era Digital’ yang diselenggarakan Kementerian Kominfo bersama Gerakan Nasional Literasi Digital Silvercreation (GNLD) se-Jawa Barat.
Albertus menjelaskan, pada periode pertama Januari hingga 29 Mei 2023, terdapat 3.903 laporan praktik pinjol ilegal di Indonesia. Pada periode yang sama, total nilai pinjaman di Indonesia mencapai Rp 51,46 triliun.
Ia mengatakan, pinjol ilegal kerap kali melibatkan praktik yang melanggar aturan. Contohnya adalah meneror nasabah agar meminjam uang ketika mereka gagal membayar utangnya.
Memang, kata dia, tidak jarang banyak orang yang bunuh diri karena tak kuasa menahan beban teror yang dilakukan penagih utang (debt collector) pinjol ilegal.
Agar tidak terjerumus ke dalam perangkap pinjol ilegal, diperlukan perencanaan keuangan yang matang. Dosen Ekonomi dan Pemasaran UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung Deny Yudiantoro mengatakan, masyarakat yang menjalani gaya hidup hemat dan rutin membuat rencana keuangan lebih aman dari rentenir, apalagi yang ilegal.
Gaya hidup hemat dan perencanaan keuangan yang teratur seharusnya mencegah hutang.
Ia mengatakan, ada sejumlah tips untuk melakukan perencanaan keuangan yang baik, seperti membuat rencana anggaran dan memisahkan pendapatan pribadi dan bisnis.
“Kemudian juga bisa membuat buku catatan keuangan, selalu menyisihkan dana untuk keadaan darurat, dan memprioritaskan anggaran,” sarannya.
Deny juga menyarankan agar Gen Z mulai mempelajari keterampilan finansial sejak usia muda. Menurutnya, penting bagi Generasi Z untuk memilih produk tabungan atau investasi yang tepat.
Selain itu, gaya hidup “window shopping” juga harus dikurangi karena mendorong pembelian barang-barang yang tidak terlalu dibutuhkan. Terakhir, penting untuk berinvestasi sejak dini.
“Mengapa perlu berinvestasi sejak dini? Karena kita tidak bisa memprediksi kondisi di masa depan. Selain itu, ada faktor inflasi dan peningkatan nilai aset. Belum lagi apakah diperlukan keadaan darurat,” ujarnya.
Menurut Sekretaris Kehormatan ICT Kabupaten Karawang Annisa Aprianti, jebakan pinjol seringkali muncul dari pola hidup yang berlebihan, antara lain rasa ingin tahu atau keinginan untuk tidak ketinggalan (fear of missing out/FOMO).
Di era digital seperti sekarang ini, dimana penggunaan media sosial semakin merajalela, informasi dapat mengalir dengan cepat dan cepat. Hal ini seharusnya membuat banyak orang tidak mau ketinggalan informasi atau gaya hidup.
“FOMO juga bisa merujuk pada kesulitan dalam mengambil keputusan dan menentukan prioritas. “Ketika pilihan kegiatan atau acara sangat beragam, masyarakat mungkin akan kesulitan memilih yang terbaik dan takut salah memilih,” ujarnya.
Workshop literasi digital ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam program Indonesia Semakin Capable Digital yang digagas Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama GNLD Sibercreation.
Wartawan: Fathur Rochman
Penerbit : Siti Zulaikha
HAK CIPTA © ANTARA 2023